KETIKA kawan-kawannya berhamburan ke jalan raya, Ripin sedang susah payah menghitung jumlah kelereng yang dimenangkannya. Siang itu tidak sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa masa kecilnya akan segera berakhir. Dua puluh dua, mungkin lebih. Ia cepat-cepat memasukkan kelereng-kelereng itu ke dalam saku celananya dan bergegas menyusul kawanannya.
Penarik perhatian kawanan itu tak lain adalah mobil pick up berpengeras suara dan digantungi poster besar berwarna-warni. Mesin mobil itu bergerung seperti tak mau kalah ribut dengan pengeras suara, membuat lagu Rhoma Irama terdengar lebih buruk dari yang biasanya Ripin dengar dari radio Bapak. Ketika mobil itu melintas di depan mereka, Ripin dikejutkan tatapan laki-laki di sebelah sopir yang sedang memegang mikrofon. Laki-laki itu punya cambang dan janggut yang rapi seperti Rhoma Irama. Rambut keritingnya pun seperti Rhoma Irama. Ripin sempat teringat bapaknya Dikin yang juga punya cambang, janggut, dan rambut seperti Rhoma Irama, tapi bapaknya Dikin sudah lama mati ditembak.
Entah siapa yang mulai, seluruh kawanan itu tiba-tiba saja sudah berteriak-teriak girang dan berlarian di belakang mobil. Berlari mengejar mobil yang lajunya tidak lebih cepat dari sapi, Darka, kawannya yang bertubuh paling besar, berhasil melompat naik ke bagian belakang mobil dan bertolak pinggang jumawa. Begitu beberapa yang lain mencoba mengikuti Darka dan terjatuh, sorak-sorai kawanan itu terdengar semakin riuh.
Ripin berlarian agak jauh di belakang. Duapuluhan kelereng yang dimenangkannya dan belasan yang lain yang merupakan modalnya, membuat kantung celananya sesak, dan kejadian semacam ini bukannya tak pernah ia alami. Dulu, jahitan di celananya sobek dan kelerengnya berhamburan. Kawan-kawannya berebutan mengambil kelereng-kelereng itu dan tak seorang pun bersedia mengembalikannya. Kali ini ia harus hati-hati.
Semula, Ripin berencana untuk mengikuti kemanapun kawanannya berlari, tapi pengumuman yang didengarnya dari pengeras suara itu membuatnya berhenti. Di antara suara musik ketipung dan mesin mobil, lamat-lamat didengarnya suara, seperti suara Rhoma Irama, sedang mengumumkan pasar malam, tong setan, dan rumah hantu. Nanti malam, di alun-alun. Ripin tercenung, lalu berbalik arah dan berlari pulang ke rumah.
MAK sedang duduk meniup tungku ketika Ripin menerobos masuk ke dapur sambil terengah-engah. Tak bisa ditangkapnya dengan jelas apa yang dikatakan mulut kecil anaknya. Ripin sibuk berceloteh sembari memasukkan kelereng-kelerengnya ke dalam sebuah kaleng bekas susu. Suaranya bertumpuk-tumpuk dengan bunyi kelereng yang satu per satu membentur dinding dalam kaleng. Hanya sepotong-sepotong dari kalimat Ripin yang bisa didengar Mak, tapi itu cukup. Tak ada pasar malam. Tak ada tong setan.
Ripin merajuk. Mengatakan setengah berteriak tentang kedatangan Rhoma Irama dan berharap Mak terbujuk. Mak berpikir, bagaimana mungkin Rhoma Irama mau datang ke kota busuk ini. Rhoma Irama cuma mau datang ke Cirebon atau Semarang. Tegal mungkin saja, tapi tidak kota kami. Begitupun, nama ini membuat raut muka Mak sempat berubah cerah sebelum kemudian keningnya berkerut cemas.
Ripin tahu itu. Ripin tahu kalau Mak diam-diam menangis setiap kali mendengar Rhoma bernyanyi di radio. Ripin bahkan pernah melihat Mak mendekap dan menimang-nimang radio itu. Padahal Mak sudah bersumpah tidak menangis. Sekeras apapun Bapak menghantam wajah Mak.
Ripin melihat cemas ke wajah Mak dan berharap sekali ini Mak masih mau berbuat nekat. Harapan ini malah membuat Ripin merasa berdosa. Terakhir kali Mak nekat, pulang nonton layer tancap Satria Bergitar, Bapak menghajar Mak sampai dini hari. Kalau sudah begini Ripin cuma bisa nyumput dibawah selimut dan menahan mulutnya yang menangis supaya tidak bersuara.
“Mak beli duwe duit,” kata Mak berbohong. Ripin tahu Mak menyimpan sedikit uang di kaleng biskuit tempat bumbu dapur. Cukup buat ongkos dan beli es lilin. Ripin marah karena Mak berbohong. Kemarahan membuatnya tidak lagi peduli pada ingatan atas bilur-bilur di wajah Mak. Mak, bohong itu dosa.
Sekali lagi Ripin menyebut nama Rhoma Irama, bersumpah demi Allah bahwa ia sudah melihatnya. Ganteng benar.
“Ganteng kien karo bapane Dikin.”
Mak tercenung. Ripin mengeluarkan semua senjatanya. Dia tahu, Mak senang dengan bapaknya Dikin. Kalau bapaknya Dikin lewat depan rumah, Mak suka mengintip dari belakang pintu. Suatu kali bahkan ia pernah melihat bapaknya Dikin sembunyi-sembunyi keluar dari pintu dapur rumahnya dan semakin bergegas begitu bersitatap dengan Ripin. Hari itu Mak kasih duit jajan, Ripin malah tambah curiga. Tapi Ripin tidak pernah menceritakan kejadian ini kepada siapapun.
Raut wajah Mak mengeras. Mak pasti berpikir tentang Bapak. Mak takut. Ripin sempat berpikir untuk pergi sendiri ke pasar malam. Sepertinya itu tidak sulit. Semua orang pasti tahu dimana tempat pasar malam didirikan, ia tinggal tak perlu malu-malu bertanya. Sayangnya ia masih takut. Nenek dulu pernah pesan agar Ripin tidak membantah Mak atau Bapak. Jangan main kemalaman. Hukuman untuk anak durhaka adalah kehilangan jalan ke rumahnya dan dikutuk untuk tersesat selamanya, begitu kata Nenek. Ripin bergidik dan semakin cemas kalau Mak menolak ajakannya.
Dulu Mak dan Ripin bisa bersenang-senang setiap malam, karena Bapak bisa dipastikan belum pulang sebelum Subuh. Bapak tidur sepanjang siang, dan kelayapan sepanjang malam. Memang Mak belum sempat mengajaknya ke kota, tapi setidaknya mereka tidak pernah lewat tontonan apapun yang ada di kampung mereka. Mak bahkan menemaninya nonton TVRI di kelurahan.
Itu dulu, waktu Bapak masih jagoan yang paling hebat. Sekarang sudah ada jagoan yang lebih hebat dari Bapak. Kata orang-orang, jagoan ini seperti setan. Tidak ada yang tahu siapa orangnya, dimana rumahnya, seperti apa tampangnya. Bapaknya Dikin salah satu korbannya. Suatu pagi ditemukan mayatnya mengambang di kali, luka tembak dua kali, di dada dan di dahi. Jagoan-jagoan setempat banyak yang sudah duluan mati. Dari namanya, Ripin menduga jagoan ini pastilah orang Kresten.
Semenjak jagoan setan ini berkeliaran, Bapak sering pulang. Bahkan bisa berhari-hari tidak keluar rumah. Mak dan Ripin jadi tidak bisa lihat tontonan dan Bapak jadi lebih sering menghajar Mak. Semenjak itu pula Bapak memutuskan untuk mengajar Ripin mengaji. Bosan menghajar Mak, diajar Bapak mengaji buat Ripin sama dengan bersiap-siap di hajar rotan.
Baru seminggu terakhir ini, Bapak rupanya sudah tidak tahan berdiam di rumah berlama-lama. Ia mulai sering keluar malam, tapi jadwalnya semakin sulit dipastikan. Tidak ada yang tahu untuk berapa lama ia pergi dan kapan ia pulang.
Sampai sore, Mak kelihatan gelisah, mondar-mandir di dapur. Ripin tahu kalau Mak gelisah artinya Mak sudah tidak tahan untuk dolan dan bersenang-senang. Mak sudah bosan dengar radio. Kalau sudah begini, Ripin tidak akan mendesak Mak lagi. Keputusannya sudah hampir bisa dipastikan, Ripin tinggal menunggu Mak menemukan jalan keluar. Sampai sore pula, Ripin ketiduran di kursi depan. Mimpi naik komidi putar.
Bapak masuk dan menendang kursi yang diduduki Ripin. Ripin terkejut, terjaga dan mendapati tangan kekar Bapak memuntir daun telinga kanannya. Dengan kasar, Bapak menyeretnya ke arah sumur, dan perintah Bapak kemudian tidak perlu dikatakan lagi. Ripin mengambil air wudhu dan bergegas shalat ashar.
Sehabis shalat, Bapak sudah menunggu di meja makan. Rotan panjang disiapkan di sisi kirinya dan Ripin mengeja huruf Arab di depannya dengan terbata-bata. Bapak sepertinya mabuk. Dari mulutnya keluar bau asam yang menusuk-nusuk hidung Ripin. Kalau mabuk, biasanya pukulan rotannya lebih keras. Belum dipukul Ripin sudah merasa tubuhnya nyeri.
Baru 10 ayat, Ripin melihat Bapak sudah menempelkan kepalanya ke meja. Di ayat ke-12, Ripin ragu-ragu bahwa yang didengarnya adalah dengkur halus Bapak. Di ayat ke-16 Ripin berhenti, Bapak sudah benar-benar tertidur. Dengkurnya keras sekali.
Ripin tak bisa memutuskan apakah sebaiknya ia pergi. Ripin tak bisa membayangkan kemarahan macam apa yang akan menimpanya jika Bapak tiba-tiba terjaga dan ia tak ada dihadapan Bapak. Pasrah, ia duduk dihadapan Bapak, dalam diam. Ia pikir, meneruskan mengaji pastilah percuma. Lebih baik diam. Sial, tiba-tiba Ripin kepingin kencing. Mak masih mondar-mandir di dapur. Ripin duduk tegang dan yang terlintas di kepalanya adalah wahana rumah hantu di pasar malam.
Menjelang maghrib barulah Bapak terjaga. Ripin masih duduk diam, menahan kencingnya, di depan Bapak. Keadaan menahan kencing membuat Ripin tidak terlalu siaga. Terjaga dan mendapati Ripin sedang mematung, membuat rotan di sisi kiri Bapak melayang ke arah tangan kanannya dengan keras. Ripin tersentak dan langsung memasang wajah pucat, tidak sepenuhnya karena perasaan sakit ditangannya. Ripin kencing.
Bapak mendengar bunyi gemericik itu dengan tatapan terpana. Ia melihat ke bawah meja lalu berdiri tegak menyambarkan rotan di tangannya ke wajah Ripin, sembari dari mulutnya tersembur sumpah serapah. Ripin menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan Bapak terus memukulinya. Ripin tak bisa menahan diri untuk tidak menangis dan menjerit kesakitan. Dalam kesakitannya ia merasa menonton Tong Setan jadi semakin tidak mungkin, sehingga ia menjerit lebih keras lagi. Mak bergegas datang dari arah dapur, memegangi tangan Bapak dan memohon padanya untuk menghentikan perbuatannya.
Bapak memang berhenti memukuli Ripin, tapi hasrat memukulnya sudah terlanjur tinggi. Bapak menyabetkan rotannya beberapa kali ke tubuh Mak. Mak terduduk di lantai, dan bergerak mundur hingga punggungnya menyentuh dinding, dan Bapak belum selesai. Mak tidak menjerit atau menangis. Mak diam. Tubuhnya seperti patung. Ripin berpikir bahwa kejadiannya akan sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Mak akan menutupi wajahnya, dan Bapak akan berhenti karena kelelahan.
Sore itu, ternyata tidak sama. Ripin tidak mengerti apa yang terjadi. Setelah beberapa lama sabetan rotan itu mengenai tubuhnya, Mak tiba-tiba mendongak, lalu menatap Bapak lekat-lekat. Ripin tahu apa artinya tatapan itu. Tatapan itu pernah ia tujukan pada Darka, sesaat sebelum perkelahian mereka dulu. Sebelumnya Ripin takut pada Darka, tapi saat ia menatap tajam-tajam itu, ia sudah tidak akan takut lagi. Mak sudah tidak takut lagi.
Hampir bersamaan, terdengar azan maghrib dari surau. Entah mana, azan maghrib atau tatapan Mak yang menghentikan Bapak. Bapak menoleh ke arah Ripin dan mengancam akan memukul Ripin lagi jika saat shalat nanti Ripin tak ada di surau. Bapak mengambil sarungnya dan berlalu membanting pintu.
Ripin tiba-tiba melihat Mak mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bangkit dengan sigap, lalu bertanya padanya, “Sira arep melu Mak apa Bapak?” Ripin menyebut, “Mak,” dengan gemetar. Mak masuk ke kamar, lalu tergesa-gesa memasukkan pakaian-pakaiannya dan Ripin ke dalam tas. Di depan lemari Mak sempat berhenti dan berpikir apa lagi yang perlu dibawanya. Tak jelas alasan Mak memasukkan kotak berisi perhiasan imitasi yang tidak ada harganya ke dalam tas itu.
Sebentar kemudian Mak sudah menggandeng tangan Ripin menyusuri jalan yang semakin gelap ke arah kota. Mak berjalan dengan langkah-langkah cepat dan lebar, dan Ripin kepayahan mengimbanginya. Tidak ada sepatah katapun diucapkan Mak dan Ripin melangkah dengan penuh perasaan takut. Jalan raya sudah dekat, kurang dari seratus meter. Tiba-tiba Mak berhenti. Terlihat berpikir keras, lalu berbalik arah. Setengah bergumam Mak bilang bahwa dia lupa bawa uang. Tergesa-gesa, Mak menyuruh Ripin menunggu. Tidak menunggu jawaban, Mak berlari ke arah rumah, meninggalkan Ripin sendirian.
Mulanya Ripin berdiri di jalan kampung yang lengang itu dan bermaksud menuruti Mak, namun kemudian kecemasan bergumul dan meningkat cepat. Ripin memutuskan berlari sekencang-kencangnya ke arah rumah. Tas besar yang dibawa Mak ditinggalkannya tergolek di atas jalan.
Terengah-engah, di depan rumahnya, ia mendapati pintu depan terbuka dan di dalam ruang tengah, ia dapat melihat Bapak sedang menjambak rambut Mak dan sedang menghantamkan kepala Mak yang kecil itu ke arah dinding.
PINTU masuk Tong Setan sudah dibuka. Orang-orang berebut membeli karcis. Ripin melangkah masuk dengan perasaan takjub. Orang-orang berebut menaiki tangga yang berdiri di samping tong yang sangat besar, dan Sam terdorong-dorong. Di bagian atas, Sam meniru beberapa anak yang menaiki undakan yang rupanya disediakan untuk anak-anak seukurannya. Orang-orang berebut melongok ke dalam tong.
Tong itu, Ripin teringat sumur di belakang rumahnya. Di dalam tong itu dua orang sudah mulai menjalankan trail. Lalu perlahan, seperti sihir, kedua motor itu mulai merambat di dinding tong dan semakin lama berputar semakin cepat. Ripin terkesima dengan apa yang dilihatnya sekaligus menyesal. Seandainya Mak bisa ikut. Ripin terus melihat ke arah kedua motor yang kemudian saling melompat-lompat satu sama lain. Ripin semakin terkesima begitu kedua motor itu menyusuri dinding tong sampai hampir sampai di ujungnya, begitu dekat dengan tempatnya berdiri. Tangan kecilnya bisa meraih motor-motor itu.
Tong Setan berakhir. Ripin ingin bertahan sebentar di sana, untuk menyaksikan lebih banyak lagi, tapi petugas tiket menemukannya dan mengusirnya pergi. Di luar, sebenarnya ada banyak yang belum disaksikan Ripin. Dia belum naik Komidi Putar, belum masuk Rumah Hantu, tapi tak ada uang sepeserpun tersisa dikantungnya. Kaleng tempat Mak menyimpan uang sudah dibuangnya dari tadi. Kaleng yang sekarang di genggamnya hanya berisi kelereng. Tidak ada yang mau menukar karcis masuk dengan kelereng.
Di luar, kompleks pasar malam begitu ramai. Kemanapun Ripin melangkah ia hanya melihat kegembiraan. Mak tentu akan senang, jika bisa ada di sini. Begitu ia ingat Mak, ia ingat Rhoma Irama yang mengumumkan pasar malam dengan mobil siang tadi.
Ripin mengikuti firasatnya untuk mencari arah sumber pengeras suara. Benar. Di depan sebuah meja berisi berbagai jenis jenggot dan cambang palsu, si Rhoma Irama berdiri, tetap dengan mikrofon dan suaranya yang merdu. Ia memakai pakaian yang gemerlap, persis yang pernah dilihatnya di sebuah poster Rhoma Irama. Ripin mendekat untuk memastikan sekali lagi. Jika benar ini Rhoma Irama, ia akan bisa menceritakannya pada Mak, biar Mak ikut senang. Harusnya ia berusaha lebih keras membangunkan Mak, tapi Ripin tidak tega. Tidur Mak pulas sekali.
Ripin sudah begitu dekat, dirinya dan laki-laki berpakaian gemerlap itu hanya dipisahkan meja, tapi laki-laki tidak sedikitpun memicingkan mata pada Ripin. Ripin mencoba menarik perhatian laki-laki itu, tapi rupanya ia sedang sibuk dengan berbagai pengumumannya. Iseng, Ripin mengambil satu ikat cambang dan jenggot palsu lalu menyelipkannya ke dalam kantong celananya. Laki-laki berpakaian gemerlap itu tidak menggubrisnya.
Ripin memutuskan untuk berseru padanya. “Hey, Rhoma Irama!” teriaknya lantang. Orang-orang di sekitarnya menoleh dan tertawa tercekikik. Laki-laki berpakaian gemerlap itu terkejut, lalu menoleh ke arahnya. Sadar bahwa teriakan bocah ini telah membuat lebih banyak orang memperhatikannya, laki-laki, dengan mikrofon di depan mulutnya, berkata. “Bukan. Bukan Rhoma.” Laki-laki lalu mengubah posisi berdirinya, seperti sedang berjoget. “Namaku Ruslan. Ruslan Irama,” katanya dengan suara yang berat dan basah. Orang-orang tertawa.
Ripin menatapnya dengan pandangan kecewa. “Hey, Bocah,” tegur Ruslan Irama. Ripin mendongak, gagal menutupi matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Siapa namamu?”
Ripin menyebut namanya dengan gemetar dan malu.
“Ah, bagus sekali. Ripin. Ripin dari Arifin.”
Lalu Ruslan Irama tiba-tiba bersuara lantang. “Semua orang bisa menjadi seperti bang haji Rhoma Irama. Siapapun juga. Pengunjung pasar malam yang kami hormati, sambut calon artis besar kita, Arifin Irama,” kata Ruslan Irama. Orang-orang yang berkumpul di sekitar meja Ruslan Irama bertepuk tangan ke arah Ripin. Lalu Ruslan Irama mengambil gitarnya. “Mulanya adalah akhlak. Lalu musik.” Lalu Ruslan Irama memetik gitarnya. Belum pernah Ripin melihat gitar yang begitu indah. Berwarna hitam mengkilat, dengan motif dengan warna emas. Suaranya nyaring dan halus.
Gitar yang indah itu masih terkenang-kenang ketika pasar malam bubar dan lampu-lampu mulai dimatikan. Persis di depan jalan masuk pasar malam, barulah Ripin sadar ia tak tahu kemana pulang. Neneknya benar. Rumahnya hilang.
Kebingungan, Ripin malah kembali melangkah masuk ke dalam komplek pasar malam. Langkah kakinya membawanya ke dekat meja Ruslan Irama. Ia terkejut melihat tidak ada siapapun di sekitar meja itu. Hanya ada sebuah gitar hitam mengkilat, tidak ada Ruslan Irama. Dengan hati-hati ia menyentuh gitar itu, lalu mengangkatnya. Ia semakin terkejut melihat betapa gitar itu begitu ringan.
Beberapa puluh menit kemudian ia menyusuri trotoar yang entah menuju kemana. Ia menyandang gitar yang dicurinya dengan keberanian yang entah datang dari mana. Ia ingat Mak. Ia tersenyum. Satu-satunya yang tidak entah adalah bahwa Mak akan selalu mencintai Rhoma Irama. Itulah yang akan diraihnya. Ia akan menjadi Rhoma Irama, bukan sekadar Ripin Irama. Setiap kali Mak akan memeluk dan menimangnya.
Sampai puluhan tahun kemudian, satu kenyataan gelap yang luput dimengertinya adalah bahwa malam itu, setelah kepala Mak menghantam dinding, Mak mati. Kenyataan lain yang tidak diketahuinya: beberapa hari setelah kematian Mak, mayat Bapak ditemukan mengambang di kali, dengan lubang di dada dan di dahi, di tembak jagoan seram bernama Petrus.
Ripin tidak pernah kembali.